Senin, 26 Maret 2018

Seminar Narkoba Karang Taruna Jamangko Desa Lanta Barat Kec. Lambu

Di tengah semakin maraknya tingkat penyalahgunaan Narkoba dikalangan pelajar, maka semakin dibutuhkan pula usaha-usaha dari berbagai kalangan.


Sebagai salah satu usaha untuk menaggulangi Narkoba, Karang Taruna Jamangko Desa Lanta Barat Kec. Lambu bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional  (BNN) Kabupaten Bima menggelar Seminar  Bahaya Narkoba


Acara yang berlangsung Selasa pagi (06/02/2018) ini dilokasikan di Aula gedung serba guna Desa Lanta Barat Kec.  Lambu dengan dihadiri oleh retusan peserta yang terdiri dari Bapak Camat Lambu, Siswa, Kepala Desa Se Kec. lambu, Karang Taruna Se Kec. Lambu.

Seminar yang bertajuk “Membentuk Generasi Nasionalisme,  Kompotitif, Cerdas dan Bebas NARKOBA” ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para pelajar dan peserta lainnya tentang bahaya Narkoba, seperti yang disampaikan oleh Ketua Panitia Pelaksana Seminar NARKOBA.

Senin, 12 Maret 2018

Bukit Romantis Desa Lanta Barat Kec. Lambu

Bersama anggota club Garuda FC bergandengan tangan membagun Desa Lanta Barat Kec. Lambu yg harmonis, bersih, Dinamis n pemuda yg bebas akan NARKOBA. 






Sabtu, 04 Oktober 2014

makalh bimbinga individu


KATA PENGANTAR

Syukur  alhamdulillah, kami haturkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberi taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kita jalan yang lurus (Agama Islam) yang diridhai Allah SWT, sehingga penulisan makalah yang berjudul “ LANDASAN DAN ETIKA BIMBINGAN IDIVIDU ” ini dapat terselesaikan. Makalah ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas yang diberikan pada mata kuliah Pendidikan  Agama Islam.
Makalah yang ditulis dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan ini, tentu tidak luput dari kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena ituselalu terbuka bagi adanya kritik dan saran serta penyempurnaan. Namun demikian penulis akan terus mencoba dan berusaha agar pada waktu yang akan datang dapat lebih menyempurnakan pengetahuan penulis di bidang ilmu agama.
Dalam proses penyusunan makalah ini penulis banyak menerima bantuan perhatian dari banyak pihak. Terima kasih yang dalam penulis sampaikan kepada mereka yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT. Melimpahkan berkat serta karunia-Nya kepada mereka sekalian. Amin.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Kota Bima, Oktober 2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Pengantar
            Pelayanan bimbingan dan konseling secara profesional di Indonesia sampai saat ini masih terfokus pada generasi muda yang masih duduk dibangku pendidikan formal atau di sekolah. itupun nampaknya yang paling terrealisasi hanyalah pada jenjang pendidikan sekolah menegah dan perguruan tinggi saja. Hampir semua tenaga bimbingan konseling profesional yang telah mendapat pendidikan formal di bidang bimbingan dan konseling, bertugas dilembaga-lembaga pendidikan di atas jenjang pendidikan dasar.
            Diantara tenaga-tenaga bimbingan dan konseling itu sebagian terbesar terlibat didalam jenjang pendidikan menegah. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang diwujudkan dalam suatu program bimbingan dan konseling yang terorganisasi dan terencana, sampai saat ini lebih banyak dikembangkan untuk jenjang pendidikan ditingkat menengah. sehingga seakan-akan ia menjadi urutan yang pertama. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga profesional dijenjang pendidikan tinggi menempati urutan ke dua dan kegiatan bimbingan konseling yang dilaksanakan di jenjang pendidikan dasar menempati urutan ketiga. Kenyataan ini hendaknya tidak harus berarti bahwa, urutan prioritas yang terdapat dilapangan, sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dapat diubah menjadi urutan prioritas yang berbeda.





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian
           Kode etik merupakan etika profesi yang harus dipegang kuat oleh setiap konselor. Kode etik juga merupakan moralitas para konselor dalam menjalankan profesinya. Bagaimana kode etik profesi bimbingan dan konseling sesungguhnya, dan berjkaitan dengan apa saja yang menyangkut etrika profesi yang terkait dengan bimbingan konseliong dilingkungan dunia pendidikan. Hal ini karena dunia pendiodikan lebih memrlukan penjelasan kode etik ini dibanding dengan bimbingan dan konseling dilingkungan lainnnya.[1]
           Etika adalah suatu sistem prinsip moral, etika suatu budaya. Aturan tentang tindakan yang dianut berkenaan dengan perilaku suatu kelas manusia, kelompok, atau budaya tertentu.
           Etika Profesi Bimbingan dan Konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada konseli. Kaidah-kaidah perilaku yang dimaksud adalah:
1.      Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sebagai manusia: dan mendapatkan layanan konseling tanpa tanpa melihat suku bangsa, agama, atau budaya.
2.      Setiap orang/individu memiliki hak untuk mengembangkan dan mengarahkan diri.
3.      Setriap orang memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambilnya.
4.      Setiap konselor membantu perkembangan setiap konseli, melalui layanan bimbingan dan koseling secara profesional.
5.      Hubungan konselor-konseli sebagai hubungan yang membantu yang didasarkan kepada kode etik (etika profesi).[2]
                        Kode Etika adalah seperangkat standar, peraturan, pedoman, dan nilai yang mengatur mengarahkan perbuatan atau tindakan dalam suatu nilai yang mengatur mengarahkan perbuatan atau tindakan dalam suatu perusahaan, profesi, atau organisasi bagin para pekerja atau anggotanya, dan interaksi antara para pekerja tau anggota dengan masyarakat.
                        Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesioanl yang dijunjung tinggi, diamalkan, dan diamankan oleh setiap anggota profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia. Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia wajib dipatuhi dan diamalkan oleh pengurus dan anggota organisasi tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota (Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Babb II, Pasal 2).
                        Pada saat ini konselor sedunia menggunakan KEK dari lembaga yang bernama American Consuler Association (ACA). Akan tetapi banyak negara yang mengadopsi KEK dari amerika serikat tersebut lalu mengadakan penyesuaian dengan kondisi negaranya, terutama dalam hal aspek-aspek Agama, Budaya, dan kondisi masyarakatnya. Hal itu juuga terjadi di Indonesia dimana KEK dari ACA tersebut kitra saring dan kita sesuaikan dengan kondisi negara kita namun demikian masyarakat konseling harus mempelajari KEK dari ACA tersebut karena mengandung dasar-dasar penting didalam konseling.

B.     Dasar Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
a.       Pancasila, mengingat profesi bimbingan dan konseling merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga negara Indonesia yang bertanggung jawab
b.      Tuntutan profesi, yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai denagn norma-norma yang berlaku

C.    Pelanggaran Terhadap Kode Etik
           Konselor wajib mengkaji secara sadar tingkah laku dan perbuataannya bahwa ia mentaati kode ettik. Konselor wajib senantiasa mengingat bahwasetiap pelanggaran terhadap kode etik akan merugikan diri sendiri, konseli, lembaga, dan pihak lain yang terkait. Pelanggaran terhadap kode etik akan mendapatkan sanksi yang mekanismenya menjadi tanggung  jawab Dewan Pertimbangan Kode Etik ABKIN sebagaaimana diatur daalam Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Bab X, Pasal 26 ayat 1 dan 2 sebagai berikut.
1.      Pada organisasi tingkat nasional dan tingkat provinsi dibentuk Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia.
2.      Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) mempunyai fungsi pokok:
a.       Menegakkan penghayatan dan pengalaman Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia.
b.      Memberikan pertimbangan kepada Pengurus Besar atau Pengurus Daerah ABKIN atau adanya perbuatan melanggar Kode Etik Bimbingan dan Konseling oleh Anggota setelah mengadakan penyelidikan yang seksama dan bertanggung jawab.
c.       Bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara berkaitan dengan profesi bimbingan dan konseling.
D.    Bentuk Pelanggaran
1.      Terhadap Konsil
a.       Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan kepentingan konseli.
b.      Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).
 c.       Melakukan tindakan kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.
d.      Kesalahan dalam melakukan praktik profesioanal (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut)


2.      Terhadap Organisasi Profesi
a.       Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
b.      Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok).

3.      Terhadap Rekan sejawat dan Profesi Lain yang Terkait
a.       Melakukan tindakan  yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan).
b.      Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai denagn masalah konseli.[3]

E.     Sanksi Pelanggaran
           Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sanksi sebagai berikut:
1.      Memberikan teguran secara lisan dan tertulis
2.      Memberikan peringatan keras secara tertulis
3.      Pencabutan keanggotaan ABKIN
4.      Pencabutan lisensi
5.      Apabila terkait dengan permasalahan hukum/kriminal maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.

F.      Mekanisme Penerapan Sanksi
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas mekanisme penerapan sanksi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Mendapatkan penggaduan dan infoormasi dari konseli dan/atau masyarakat.
2.      Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik ditingkatt daerah.
3.       Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan, maka penyelesainnya dilakukan oleh dewan kode etik ditingkat daerah.
4.      Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh konseli dan/atau masyarakat.
5.      Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik-daerah terbukti kebenarannya, maka diterapkan sanksi sesuai dengan masalahnya. 




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1)      Kode etik konselor adalah serangkaian aturan-aturan susila, atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para konselor atau serangkaian ketentuan dan peraturan yang disepakati bersama guna mengatur tingkah laku para konselor saat proses wawancara maupun kehidupan sehari-hari sehingga mampu memberikan sumbangan yang berguna dalam pengabdiannya di masyarakat.
2)      Kode Etik konselor dibuat untuk mengatur perilaku konselor dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya serta mengatur secara moral peranan konselor di dalam masyarakat.
3)      Implementasi Kode Etik konselor masih belum optimal, karena masih banyak konselor yang belum melaksanakan Kode Etik konselor itu secara baik.
4)      konselor di dalam masyarakat masih menempatkan diri sebagai orang biasa yang tidak memiliki kewajiban khusus secara moral untuk membangun kesadaran berpendidikan bagi masyarakat.

B.     Saran
1)      Kode Etik konselor adalah sesuatu yang hendaknya dipahami dan diamalkan oleh setiap konselor.
2)      Dalam memainkan peran di dalam masyakat, konselor hendaknya senantiasa mengedepankan nilai-nilai pendidikan.
3)      Konselor hendaknya senantiasa membangun kesadaran berpendidikan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
4)      Perilaku konselor di dalam kehidupan sehari-hari merupakan contoh cerminan seorang yang berpendidikan.



DAFTAR PUSTAKA
Anas Salahudin. Bimbingan & Konseling, CV Pustaka Setia, Bandung:2010
John Mcleod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, Kencana, Jakarta:2008
Sofyan S. Willis. Konseling Individual Teori dan Praktek.  CV Alfabeta. Bandung: 2007

makalah hematoma


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.
BAB II
PEMBAHAN
A. Hematoma Subdural

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.
B. Etiologi

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. 
Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati. 


Gambar 1. Perdarahan pada Subdural




C. Patofisiologi

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. 
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.




Gambar 2. Lapisan pelindung otak
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. 
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
  1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
  1. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
  1. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Pembagian Subdural kronik:
Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
  1. Tipe homogen ( homogenous)
  2. Tipe laminar 
  3. Tipe terpisah ( seperated)
  4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan.
Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
  1. Tipe konveksiti ( convexity).
  2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
  3. Tipe interhemisferik 
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.
D. Gejala Klinis
1.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3.Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. 
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.  Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
sakit kepala yang menetap 
rasa mengantuk yang hilang-timbul 
linglung 
perubahan ingatan 
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. 



KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU 

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi. 







Kerusakan Lobus Frontalis 
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. 
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya. 

Kerusakan Lobus Parietalis 
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. 
Kerusakan Lobus Temporalis 
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual. 
E. Penatalaksanaan

Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. 
Indikasi Operasi
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam .

Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
PEN-KES UNTUK KELUARGA
keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan masalah cedera kepala, diantara yaitu : 
Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu control dan berobat secara teratur dan lanjut.
Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan dirumah nantinya
• Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien 
Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak terjadi cidera pada neuromuskuler 
Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang, kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum optimal terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami gangguan memori maka mengajarkan pada keluarga bagaimana mengorientasikan kembali pada realita pasien.
F. Rehabilitasi
• Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran kencing.
• Goal jangka pendek 
  1. Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture untuk mobilitas dan keamanan.
  2. Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi musculoskletal, defisit neurologi
Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini. 
Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang melibatkan lingkungan dirumah. Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan program sensory stimulation. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis : dokter ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.
G. Prognosis

Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %. 
H. Diagnosa Banding
Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson, hydrocephalusdengan tekanan normal.
BAB III
PENUTU
A. Kesimpulan
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.