BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hematoma subdural
adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut
yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang
tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak.
Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala
tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan
beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal
progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.
BAB II
PEMBAHAN
A. Hematoma
Subdural
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di
dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun
cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari
laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya
darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena
penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah
cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan
lokasi gumpalan darah.
B. Etiologi
Keadaan
ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat
lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
• Trauma pada
leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila
ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua
dan juga pada anak - anak.
• Pecahnya
aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
• Gangguan
pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang
spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
• Pada orang tua,
alkoholik, gangguan hati.
Gambar 1.
Perdarahan pada Subdural
C.
Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan
arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan
(bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus
venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena
otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan
sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang
terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang
tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan
gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat.
Gambar 2.
Lapisan pelindung otak
Perdarahan sub dural
kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan
dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena
tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya
hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan
subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular
yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena
pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat
berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari
perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial
dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan
dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra
kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra
kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian
pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang
yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang
cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau
subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi
jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura
tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada
hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus
dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak
yang lainnya.
Terdapat 2 teori
yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di
dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan
tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan
onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari
perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori
Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan
onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang
mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan
bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut
memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar
membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Perdarahan Subdural
dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis yaitu:
Perdarahan
akut
Gejala yang timbul
segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan
lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan
tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi
hiperdens.
Perdarahan
sub akut
Berkembang dalam
beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan
darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan
kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan
lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya
lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
Perdarahan
kronik
Biasanya terjadi
setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun
bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan
hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati
hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara
perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada
subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum
terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat
pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula
ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada
sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma
darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma.
Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan
subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti
pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai
pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Pembagian Subdural
kronik:
Berdasarkan pada
arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural
kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
Tipe
homogen ( homogenous)
Tipe laminar
Tipe terpisah (
seperated)
Tipe
trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan
pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular
adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada
awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi
bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili
oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium
trabekular selama penyerapan.
Sedangkan berdasarkan perluasan
iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik
dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
Tipe
konveksiti ( convexity).
Tipe basis cranial
( cranial base ).
Tipe
interhemisferik
Tingkat kekambuhan
perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan
kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan
subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra
kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan
pasca operatif.
D. Gejala Klinis
1.Hematoma Subdural
Akut
Hematoma subdural
akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural
Subakut
Hematoma ini
menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural.
Anamnesis klinis
dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
3.Hematoma
Subdural Kronik
Timbulnya gejala
pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa
tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena
yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih
tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma
ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran
atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.
Hematoma subdural
yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan
ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah.
Hematoma subdural
pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang
kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah:
• sakit kepala
yang menetap
• rasa mengantuk
yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan
ingatan
• kelumpuhan
ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
KERUSAKAN
PADA BAGIAN OTAK TERTENTU
Kerusakan pada
lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu
pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku
tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis
kelainan yang terjadi.
Kerusakan
Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada
korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya
menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus
frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah
tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas
motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari
kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan
lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya
mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan
perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis
menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang
berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan
akibat yang terjadi akibat perilakunya.
Kerusakan Lobus
Parietalis
Lobus parietalis
pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan
berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga
membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan
posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan
lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut
apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang
luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian
tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi
ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya
bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau
mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.
Kerusakan Lobus
Temporalis
Lobus temporalis
mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya
sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara
dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara
dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam
dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita
dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah
seksual.
E.
Penatalaksanaan
Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume
30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada
keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak
diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami
pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan
adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan
operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil
keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan
operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist
drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima
untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena
dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi
dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai
komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia
lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang
terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali
.Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang
invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan
teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural
kronik sudah mulai berkurang.
Trepanasi/
kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan
mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien
trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor
dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan
tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian
besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi
• Penurunan
kesadaran tiba-tiba di depan mata
• Adanya tanda
herniasi/ lateralisasi
• Adanya cedera
sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala
tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum
dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada
hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasipun
kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat
terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah
yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik,
pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus,
kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya
reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus
dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial
skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam .
Follow-up
CT scan
kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan
untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul
kemudian.
PEN-KES UNTUK
KELUARGA
keluarga diberikan
penkes tentang perawatan pasien dengan masalah cedera kepala,
diantara yaitu :
• Penjelasan
tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera kepala
termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu
control dan berobat secara teratur dan lanjut.
• Mengajarkan
bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan
dirumah nantinya
• Mengajarkan pada keluarga dan
melibatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien
• Mengajarkan
melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak
terjadi cidera pada neuromuskuler
• Mempersiapkan
keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang, kapan
harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum
optimal terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering pasien
akan mengalami gangguan memori maka mengajarkan pada keluarga
bagaimana mengorientasikan kembali pada realita pasien.
F. Rehabilitasi
•
Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan
seperti kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi,
trombophlebitis, infeksi saluran kencing.
• Goal jangka pendek
Meningkatkan
spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture
untuk mobilitas dan keamanan.
Pengobatan
tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi
musculoskletal, defisit neurologi
Rehabilitasi dini
pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti
kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan
ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini.
Terapi ini kemudian
dilanjutkan dengan home program terapi yang melibatkan lingkungan
dirumah. Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi
coma management dan program sensory stimulation. Penanganan dilakukan
oleh tim secara terpadu dan terorganisis : dokter ,terapis, ahli
gizi, perawat, pasien dan keluarga.Melakukan mobilisasi dini,
rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat, edukasi
keluarga.
G.
Prognosis
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik
memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada
umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi
parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan
berat dapat mencapai sekitar 50 %.
H. Diagnosa
Banding
Dementia, stroke,
TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan
kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson,
hydrocephalusdengan tekanan normal.
BAB III
PENUTU
A. Kesimpulan
Hematoma subdural
adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut
yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang
tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak.
Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala
tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan
beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal
progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.